cerpen
MAMAKU
Martinus
Rino Laka
Tak
ada wanita lain secantik dirimu. Tak ada mentari yang datang menjemput pagi, seperti
dirimu yang selalu menungguku di depan pintu, ketika aku pulang sekolah. Tak
ada senyuman terindah yang kurasakan selain senyumanmu sendiri, ketika hendak mengucapkan
selamat tidur untukku. Tak ada pribadi yang paling tak tergantikan selain
dirimu oh….mamaku. Aku sangat mencintaimu.
Masih
kuingat kata-kata itu sewaktu aku pergi meninggalkan rumah demi mencari hidup
dan menjadi seseorang yang lebih dewasa. Aku yang mengucapkan kata-kata itu
sendiri untuk mamaku tercinta. Ia masih sangat muda dan kuat, begitu ketika
kupandangi dia untuk terakhir kalinya. Raut wajahnya yang murung tampak nyata membisikan kepadaku, seolah ia ingin merebutku
dari bujukan dunia luar yang datang menjemputku. Ia berkata dengan sehelai
napas tersisa, melawan isak tangis matanya yang tak terbendung lagi untuk
ditumpahkan keluar, yakni “jangan pergi anakku….” Uratan yang timbul tenggelam di atas dahinya
seakan memberi pesan singkat kepadaku bahwasanya ia masih sanggup untuk menghidupi
aku dan kedua adikku yang masih kecil ini. Yang satu baru menginjaki usia empat
tahun, sedangkan yang satunya lagi masih ia gendong.
“Tapi……biarlah
mama, aku tidak mau menyusahkan mama untuk kesekian kalinya. Aku mau pergi
mencari hidup yang lebih baik lagi. Aku ingin meninggalkan engkau, walaupun
dengan berbekal memory yang tak sempurna namun akan terus kukenang, yakni
wajahmu sendiri.…mama.” Begitu gumamku dalam hati sewaktu pintu rumah terbuka
dan aku mulai melangkah meninggalkan dirimu dan memulai sebuah langkah baru
untuk hidup tanpamu di dunia yang lain.
*****
Kini,
di sebuah pulau yang asing aku tak dapat menemui dirimu lagi dalam setiap canda
tawaku. Ketika mulai bangun tidur pagi, aku tak mendapatkan lagi segelas susu
diatas meja, yang biasanya engkau hidangkan kepadaku. Sebab, biasanya engkau
mengatakan padaku bahwa “segelas susu ini sangat baik untuk anak sekolah yang
masih SD, karena semua anak yang berhasil, selalu minum susu buatan mamanya
sendiri….” Lagi pula disini, tak ada orang yang biasa menyiapakan air panas
untukku sewaktu mau mandi, biasanyakan engkau yang menyiapkannya untukku, mama.
Ditempat yang asing ini, semuanya selalu ku kerjakan sendiri. Aku tak bisa. Aku
tak mampu jika tanpa engkau disampingku. Semuanya serba kacau.
Apakah
aku anak manja….? Tidak! Aku sudah dewasa. Aku pergi dari rumah, karena
kehendakku sendiri. Aku ingin bebas dari kekangan rutinitas rumah. Aku ingin
mencari sebuah kehidupan yang baru, sebuah kehidupan yang melatih kemandirianku.
Sebuah kehidupan tanpa mama, tapi penuh dengan kenangan akan mama. Sebuah
kehidupan yang kujalani sendiri urusan rumah tangganya, tapi selalu mengingat
kata-kata mama “jangan lupa sehabis makan harus cuci piringmu sendiri….” Masih
ada lagi sebuah pesan yang selalu kuingat sewaktu ia memasakan sayur kangkung
kesukaanku. Begini katanya “anakku, jika engkau menumis sayur kangkung,
ingatlah bahwa engkau memasak untuk dirimu sendiri, jadi masaklah sampai engkau
merasakan masakanmu itu enak untuk dimakan oleh dirimu sendiri….jangan lupa
taburi dengan garam dan tumis bawang terlebih dahulu sebelum memasukan sayur
kangkung di tempat penggorengan…..” Oh..mama, itulah yang aku rindukan darimu
mama.
Ketika
menerima upah hasil keringatku sendiri, aku tak tahu mau dikemanakan uang ini,
apakah uang ini harus disimpang untuk ditabung? Ataukah uang ini harus dikirimkan
kepadamu, tapi aku tak tahu apakah mama mempunyai tabungan dirumah atau tidak?
Apakah uang ini harus kupergunakan untuk membeli pakaianku yang sudah pudar
warnanya, karena aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya mencuci baju dengan
baik dan benar seperti yang biasa engkau lakukan? Ataukah uang ini harus
kusembunyikan rapat-rapat di selipkan diantara pakaian-pakaianku di dalam
lemari, seperti yang engkau ajarkan kepadaku? Aku tak tahu. Aku bingung.
Tapi
asal mama tahu, bahwa upah pertama yang kuterima dari hasil keringatku,
kupergunakan untuk membeli secangkir mok dan sekotak susu dancow putih, yang biasanya engkau belikan kepadaku dan adik-adikku
yang lain. Selain itu, uang sisanya kugunakan untuk membeli sebuah bingkai foto
yang terbuat dari kayu, agar pada bingkai itu, kuletakan fotomu, dan kuhiasi
tepat diruangan yang mudah untuk aku pandangi sehabis doa malam sebelum tidur.
Melihat
wajahmu yang manis di foto, membuat pikiranku sendiri terbang dan mendarat
dihalaman rumah kita, sebuah rumah kecil yang
terbuat dari anyaman bambu berwarna kuning, yang terdiri dari empat
ruangan saja yakni sebuah kamar tamu, dua buah kamar tidur, yakni satu untuk
mama dan bapak beserta adikku yang masih bayi, sedangkan yang satunya lagi
untuk aku dan adikku yang kedua. Sedang satu ruangan lagi yang tersisa, yakni
dapur tempat mama biasanya memasak dan mengatur urusan pangan demi kenyang
tidaknya perut kami, dan gemuk tidaknya badan kami sekeluarga.
*****
Banyak
teman-temanku yang lain selalu bertanya-tanya tentang keluargaku. Dimana
ayahmu? Dimana Ibumu? Apakah engkau anak tunggal, atau apakah engkau anak yang
sulung didalam keluarga? Memang, pada awalnya aku tidak menggubris sedikitpun
gugatan mereka atas diriku. Namun, semakin hari rasanya perlu jika aku harus
jujur dengan diriku sendiri, tentang statusku yang sebenarnya kepada mereka,
tentang keadaan keluargaku, dan tentunya tentang mamaku.
Kukatakan
kepada mereka bahwa tak ada keluaraga yang paling bahagia selain keluargaku
sendiri. Kubicarakan kebaikan dan kelembutan serta kasih sayang yang kurasakan
sendiri dan yang kudapatkan dari mamaku kepada mereka. Spontan, raut wajah
mereka kelihatan heran dan aneh dengan apa yang aku katakan, mereka seolah-olah
tidak percaya. Bahkan ada yang mengatakan kepadaku, bahwa kau beruntung
memiliki mama seperti yang sekarang engkau miliki ini. Seandainya mereka
menjadi sepertiku maka mereka pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang
aku rasakan.
Tapi,
ada satu pertanyaan yang tak dapat
kujawab dari mereka, yakni, “mengapa aku harus pergi meninggalkan kebahagiaan yang telah aku
dapatkan di rumah, meninggalkan memoryku bersama mama tercinta?” aku terdiam
saja, aku tertunduk membisu, tak berani mengangkat kepalaku kepada mereka. Aku
tak berani menatap wajah mereka satu per satu. Aku diserang. Aku tersudut.
Apakah aku harus kalah dengan keputusan yang kubuat sendiri ini, yakni pergi
meninggalkan rumahku tercinta, pergi meninggalkan balutan dan kehangatan yang
telah kuraih dari mamaku? Aku berpikir, terus berpikir berusaha mencari sebuah
jawaban yang tepat. Mencari sebuah jawaban fundamental, mencari sebuah solusi apologetik
agar semua orang tidak lagi membanjiriku dengan berbagai rupa-rupa pertanyaan
yang beruntun lagi. Aku tak mau dinterogasi, dan aku juga tak mau untuk
diinterupsi sedemikian dalammnya.
Namun,
situasi memaksaku untuk segera mengungkapkan kekalahanku atas pertanyaan ini.
Situasi menuntutku untuk mengangkat kedua tangan. Menyerah tanpa balas.
Menyerah dalam kebisuan. Menyerah tanpa syarat. Apakah aku kalah sekarang? Apakah aku harus
jujur kepada mereka? Apakah kebenaran yang tersembunyi harus disingkap keluar?
Apakah rahasia pribadiku harus kubeberkan secara mendetail dan terperinci kepada
mereka yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan keluargaku? Tidak! Tidak
mungkin. Aku sama sekali tidak akan mengatakan sepatah katapun tentang alasan
fundamental keputusanku ini. Biarlah ini menjadi sebuah rahasia yang tertulis
rapi dalam diary harianku. Ini akan
tetap terukir dan terpatri dalam sanubari terdalam, dan kisah ini hanya akan
menjadi sebuah ulasan rahasian antara aku dan mamaku.
Biar
bagaimanapun aku tetap mencintai keluargaku yang sekarang. Aku tetap menyayangi
mamaku, dan aku akan selalu menyimpan foto mama bukan saja di dalam ruangan
pribadiku, bukan saja didalam dompetku sendiri, melainkan didalam seluruh
pendakian kehidupanku demi mencari status diriku yang sebenarnya.
Aku
yang adalah anak pungutan, akan terus mencari siapa dan dimana keluargaku
sebenarnya, dan mengapa aku dilahirkan di dunia ini dengan mama dan bapak yang
lain. Dimana mamaku sebenarnya? Memang aku telah mendapatkan kebahagiaan
sempurna dari mamaku yang sekarang. Tapi, ketika aku tahu bahwa aku hanyalah
anak pungutan, maka aku segera memutuskan untuk pergi mencari dimana mamaku
yang sebenarnya. Keputusan ini harus kubuat, karena memang aku harus memutuskan
demikian. Bahwa yang pasti mamaku yang sebenarnya selalu merindukan kedatangan kembali anaknya.
Perlakuan mama kandung yang sebenarnya, pastilah akan lebih sempurna dari yang
selama ini kudapatkan. Aku merindukan sosok yang hilang itu dalam diriku.
Mama, engkau
akan selalu kucari kapanpun, dan dimanapun aku pergi……..
*sebuah kado untuk mama, atas hari jadinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar