Rabu, 16 Januari 2013

Cerpen



cerpen
MAMAKU
Martinus Rino Laka

Tak ada wanita lain secantik dirimu. Tak ada mentari yang datang menjemput pagi, seperti dirimu yang selalu menungguku di depan pintu, ketika aku pulang sekolah. Tak ada senyuman terindah yang kurasakan selain senyumanmu sendiri, ketika hendak mengucapkan selamat tidur untukku. Tak ada pribadi yang paling tak tergantikan selain dirimu oh….mamaku. Aku sangat mencintaimu.
Masih kuingat kata-kata itu sewaktu aku pergi meninggalkan rumah demi mencari hidup dan menjadi seseorang yang lebih dewasa. Aku yang mengucapkan kata-kata itu sendiri untuk mamaku tercinta. Ia masih sangat muda dan kuat, begitu ketika kupandangi dia untuk terakhir kalinya. Raut wajahnya yang murung tampak nyata  membisikan kepadaku, seolah ia ingin merebutku dari bujukan dunia luar yang datang menjemputku. Ia berkata dengan sehelai napas tersisa, melawan isak tangis matanya yang tak terbendung lagi untuk ditumpahkan keluar, yakni “jangan pergi anakku….”  Uratan yang timbul tenggelam di atas dahinya seakan memberi pesan singkat kepadaku bahwasanya ia masih sanggup untuk menghidupi aku dan kedua adikku yang masih kecil ini. Yang satu baru menginjaki usia empat tahun, sedangkan yang satunya lagi masih ia gendong.
“Tapi……biarlah mama, aku tidak mau menyusahkan mama untuk kesekian kalinya. Aku mau pergi mencari hidup yang lebih baik lagi. Aku ingin meninggalkan engkau, walaupun dengan berbekal memory yang tak sempurna namun akan terus kukenang, yakni wajahmu sendiri.…mama.” Begitu gumamku dalam hati sewaktu pintu rumah terbuka dan aku mulai melangkah meninggalkan dirimu dan memulai sebuah langkah baru untuk hidup tanpamu di dunia yang lain.

*****

Kini, di sebuah pulau yang asing aku tak dapat menemui dirimu lagi dalam setiap canda tawaku. Ketika mulai bangun tidur pagi, aku tak mendapatkan lagi segelas susu diatas meja, yang biasanya engkau hidangkan kepadaku. Sebab, biasanya engkau mengatakan padaku bahwa “segelas susu ini sangat baik untuk anak sekolah yang masih SD, karena semua anak yang berhasil, selalu minum susu buatan mamanya sendiri….” Lagi pula disini, tak ada orang yang biasa menyiapakan air panas untukku sewaktu mau mandi, biasanyakan engkau yang menyiapkannya untukku, mama. Ditempat yang asing ini, semuanya selalu ku kerjakan sendiri. Aku tak bisa. Aku tak mampu jika tanpa engkau disampingku. Semuanya serba kacau.
Apakah aku anak manja….? Tidak! Aku sudah dewasa. Aku pergi dari rumah, karena kehendakku sendiri. Aku ingin bebas dari kekangan rutinitas rumah. Aku ingin mencari sebuah kehidupan yang baru, sebuah kehidupan yang melatih kemandirianku. Sebuah kehidupan tanpa mama, tapi penuh dengan kenangan akan mama. Sebuah kehidupan yang kujalani sendiri urusan rumah tangganya, tapi selalu mengingat kata-kata mama “jangan lupa sehabis makan harus cuci piringmu sendiri….” Masih ada lagi sebuah pesan yang selalu kuingat sewaktu ia memasakan sayur kangkung kesukaanku. Begini katanya “anakku, jika engkau menumis sayur kangkung, ingatlah bahwa engkau memasak untuk dirimu sendiri, jadi masaklah sampai engkau merasakan masakanmu itu enak untuk dimakan oleh dirimu sendiri….jangan lupa taburi dengan garam dan tumis bawang terlebih dahulu sebelum memasukan sayur kangkung di tempat penggorengan…..” Oh..mama, itulah yang aku rindukan darimu mama.
Ketika menerima upah hasil keringatku sendiri, aku tak tahu mau dikemanakan uang ini, apakah uang ini harus disimpang untuk ditabung? Ataukah uang ini harus dikirimkan kepadamu, tapi aku tak tahu apakah mama mempunyai tabungan dirumah atau tidak? Apakah uang ini harus kupergunakan untuk membeli pakaianku yang sudah pudar warnanya, karena aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya mencuci baju dengan baik dan benar seperti yang biasa engkau lakukan? Ataukah uang ini harus kusembunyikan rapat-rapat di selipkan diantara pakaian-pakaianku di dalam lemari, seperti yang engkau ajarkan kepadaku? Aku tak tahu. Aku bingung.
Tapi asal mama tahu, bahwa upah pertama yang kuterima dari hasil keringatku, kupergunakan untuk membeli secangkir mok dan sekotak susu dancow putih, yang biasanya engkau belikan kepadaku dan adik-adikku yang lain. Selain itu, uang sisanya kugunakan untuk membeli sebuah bingkai foto yang terbuat dari kayu, agar pada bingkai itu, kuletakan fotomu, dan kuhiasi tepat diruangan yang mudah untuk aku pandangi sehabis doa malam sebelum tidur.
Melihat wajahmu yang manis di foto, membuat pikiranku sendiri terbang dan mendarat dihalaman rumah kita, sebuah rumah kecil yang  terbuat dari anyaman bambu berwarna kuning, yang terdiri dari empat ruangan saja yakni sebuah kamar tamu, dua buah kamar tidur, yakni satu untuk mama dan bapak beserta adikku yang masih bayi, sedangkan yang satunya lagi untuk aku dan adikku yang kedua. Sedang satu ruangan lagi yang tersisa, yakni dapur tempat mama biasanya memasak dan mengatur urusan pangan demi kenyang tidaknya perut kami, dan gemuk tidaknya badan kami sekeluarga.
*****
Banyak teman-temanku yang lain selalu bertanya-tanya tentang keluargaku. Dimana ayahmu? Dimana Ibumu? Apakah engkau anak tunggal, atau apakah engkau anak yang sulung didalam keluarga? Memang, pada awalnya aku tidak menggubris sedikitpun gugatan mereka atas diriku. Namun, semakin hari rasanya perlu jika aku harus jujur dengan diriku sendiri, tentang statusku yang sebenarnya kepada mereka, tentang keadaan keluargaku, dan tentunya tentang mamaku.
Kukatakan kepada mereka bahwa tak ada keluaraga yang paling bahagia selain keluargaku sendiri. Kubicarakan kebaikan dan kelembutan serta kasih sayang yang kurasakan sendiri dan yang kudapatkan dari mamaku kepada mereka. Spontan, raut wajah mereka kelihatan heran dan aneh dengan apa yang aku katakan, mereka seolah-olah tidak percaya. Bahkan ada yang mengatakan kepadaku, bahwa kau beruntung memiliki mama seperti yang sekarang engkau miliki ini. Seandainya mereka menjadi sepertiku maka mereka pasti akan merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan.
Tapi, ada satu  pertanyaan yang tak dapat kujawab dari mereka, yakni, “mengapa aku harus  pergi meninggalkan kebahagiaan yang telah aku dapatkan di rumah, meninggalkan memoryku bersama mama tercinta?” aku terdiam saja, aku tertunduk membisu, tak berani mengangkat kepalaku kepada mereka. Aku tak berani menatap wajah mereka satu per satu. Aku diserang. Aku tersudut. Apakah aku harus kalah dengan keputusan yang kubuat sendiri ini, yakni pergi meninggalkan rumahku tercinta, pergi meninggalkan balutan dan kehangatan yang telah kuraih dari mamaku? Aku berpikir, terus berpikir berusaha mencari sebuah jawaban yang tepat. Mencari sebuah jawaban fundamental, mencari sebuah solusi apologetik agar semua orang tidak lagi membanjiriku dengan berbagai rupa-rupa pertanyaan yang beruntun lagi. Aku tak mau dinterogasi, dan aku juga tak mau untuk diinterupsi sedemikian dalammnya.
Namun, situasi memaksaku untuk segera mengungkapkan kekalahanku atas pertanyaan ini. Situasi menuntutku untuk mengangkat kedua tangan. Menyerah tanpa balas. Menyerah dalam kebisuan. Menyerah tanpa syarat.  Apakah aku kalah sekarang? Apakah aku harus jujur kepada mereka? Apakah kebenaran yang tersembunyi harus disingkap keluar? Apakah rahasia pribadiku harus kubeberkan secara mendetail dan terperinci kepada mereka yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan keluargaku? Tidak! Tidak mungkin. Aku sama sekali tidak akan mengatakan sepatah katapun tentang alasan fundamental keputusanku ini. Biarlah ini menjadi sebuah rahasia yang tertulis rapi dalam diary harianku. Ini akan tetap terukir dan terpatri dalam sanubari terdalam, dan kisah ini hanya akan menjadi sebuah ulasan rahasian antara aku dan mamaku.
Biar bagaimanapun aku tetap mencintai keluargaku yang sekarang. Aku tetap menyayangi mamaku, dan aku akan selalu menyimpan foto mama bukan saja di dalam ruangan pribadiku, bukan saja didalam dompetku sendiri, melainkan didalam seluruh pendakian kehidupanku demi mencari status diriku yang  sebenarnya.
Aku yang adalah anak pungutan, akan terus mencari siapa dan dimana keluargaku sebenarnya, dan mengapa aku dilahirkan di dunia ini dengan mama dan bapak yang lain. Dimana mamaku sebenarnya? Memang aku telah mendapatkan kebahagiaan sempurna dari mamaku yang sekarang. Tapi, ketika aku tahu bahwa aku hanyalah anak pungutan, maka aku segera memutuskan untuk pergi mencari dimana mamaku yang sebenarnya. Keputusan ini harus kubuat, karena memang aku harus memutuskan demikian. Bahwa yang pasti mamaku yang sebenarnya  selalu merindukan kedatangan kembali anaknya. Perlakuan mama kandung yang sebenarnya, pastilah akan lebih sempurna dari yang selama ini kudapatkan. Aku merindukan sosok yang  hilang itu dalam diriku.
 Mama, engkau  akan selalu kucari kapanpun, dan dimanapun aku pergi……..
*sebuah kado untuk mama, atas hari jadinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar